nusakini.com--Deputi Bidang Koordinasi Perlindungan Perempuan dan Anak, Kemenko PMK, Sujatmiko, memberikan arahan pada rapat koordinasi (Rakor) Gerakan Nasional Anti Kejahatan Seksual terhadap Anak (GN AKSA) di Jakarta, Rakor dihadiri oleh Kementerian/Lembaga (K/L) terkait. 

Sujatmiko dalam arahannya mengatakan bahwa sejak tahun 2014 ketika ada Instruksi Presiden (Inpres) No. 5 Tahun 2014 tentang Gerakan Nasional Anti Kejahatan Seksual terhadap Anak (GN AKSA) hingga terbitnya Undang-Undang (UU) No. 17 tahun 2016 tentang perlindungan anak, kejahatan seksual anak (KSA) belum mengalami penurunan malahan cenderung mengalami kenaikan. Kenyataan tersebut,menurut Sujatmiko perlu adanya evaluasi menyeluruh terhadap aksi atau program GN AKSA. 

Untuk memulai evaluasi tersebut, menurutnya harus ada data yang lengkap terkait dengan data kekerasan seksual anak sejak UU N0.17 tahun 2016 diberlakukan. Berapakan jumlah pelaku KSA yang terjerat dengan UU No.17 tahun 2016? Adakah penurunan atau peningkatan terhadap kasus KSA? “Dari data tersebut baru kita bisa menyimpulkan seberapa besar manfaat UU No.17 tahun 2016 terhadap pencegahan KSA,” terang Sujatmiko. 

Evaluasi GN AKSA juga perlu menyentuh persoalan yang terkait dengan kendala yang menyebabkan kurang maksimalnya GN AKSA seperti kendala pendanaan, kendala sumberdaya manusia, kendala hubungan antara K/L, kendala hubungan pusat dan daerah maupun kendala yang terkait dengan jaringan. 

Sujatmiko juga menerangkan bahwa penyebab terbesar dari KSA adalah pornografi yang begitu massif dan cepat. Bahaya pornografi tersebut tersebut justru sangat dekat yang selalu ada ditangan, yaitu gadget atau smartphone. Serangan pornografi bukan lagi hitungan bulan, mingu atau hari tetapi sudah hitungan detik. “Pornografi masih menjadi masalah serius bagi pencegahan KSA,” ungkap Sujatmiko. 

Sementara itu, Asisten Deputi Bidang Pemenuhan Hak dan Perlindungan Anak Kemenko PMK, Marwan Syaukani dalam paparannya menjelaskan bahwa tren kekerasan seksual terhadap anak mengalami kenaikan. Hasil pantauan di media cetak dan elektronik menyebutkan bahwa rata-rata terjadi 50-60 kekerasan terhadap anak tiap minggunya dan 75% adalah kekerasan seksual anak (KSA). 

Menurut Marwan, hal ini dikarenakan berbagai program pemerintah untuk pencegahan KSA beleum efektif. Selain itu system pelaporan belum 24 jam serta belum mampu menjangkau pelosok Indonesia. “Apalagi penanganan aduan masih lambat akibat lemahnya kapasitas lembaga terkait,” ungkap Marwan. Marwan juga mangatakan bahwa kendala yang dihadapai dalam pencegahan KSA adalah pemahaman para penegak hukum yang masih lemah terhadap UU No.17 tahun 2016 serta masih banyaknya penegak hukum yang masih menggunakan UU. No.35 tahun 2014 dalam menjerat pelaku KSA.(p/ab)